Sabtu, 05 Desember 2015

Bocah di Dermaga Tua

Assalamualaikum wr.wb....


Uhug...uhugg.....


Kejadian yang akan ku ceritakan ini sudah lama sekali tapi entah kenapa kejadian itu terus ku ingat? Mungkin karena ada niat mau ku share dalam blog mungkin ya yang membuat kejadian lama itu tetep melenggak-lenggok untuk menarik perhatian otak agar tak melupakannya. Mungkin?.

Jadi begini, saat itu aku sedang pulang ke rumah orang tuaku, tentunya. Cuaca cerah bahkan matahari di pukul 09.30 wib kala itu pun terasa sangat menyengat kulit di tambah lagi posisiku yang berada di atas kap kapal kelotok otomatis tubuhku terhujani panas secara langsung. Aku memang tak biasa pulang di jam-jam itu karena biasanya aku pulang dari kost sekitar pukul 16.00-17.00 wib di hasi sabtu alasannya, tentu saja karena enggan menantang raja siang di masa-masa kemurkaannya namun, saat itu aku sengaja pulang awal karena jam sekolah berakhir lebih awal dan esok harinya pun sekolah diliburkan akhirnya bulat lah sudah untuk pulang saat itu juga.


Di saat kelotok masih terdiam karena menunggu beberapa penumpang menaikinya. Aku melihat sepupu dan Pak Lekku yang juga naik ke atas kelotok yang ku naiki dan karena melihatku lalu mereka memilih duduk di dekatku. Setelah beberapa saat berbincang baru ku tahu kalau mereka baru saja berkeliling kota kecil di seberang kampungku itu untuk mencari sekolah yang di sukai sepupuku, karena saat itu sepupuku baru saja lulus SD maka Pak Lekku mengajaknya mendatangi semua SMP yang ada karena untuk masalah nilai tidak lagi menjadi masalah sebab di mana pun dia akan melanjutkan sekolah pasti dia akan masuk dengan nilai tertinggi.

Saat asik mengobrol tiba-tiba Pak Lek bertanya pada sepuku.


"Eneng duet sewu ga? Bapak pas ga ndue iki."

Lalu sepupuku coba mencari di sakunya.


"Ga enek, Pak."

Kebetulan saat itu aku pun tak punya uang pecahan karena saat itu baru hari senin maka bekal uang masih bulat, begitulah anak kost hehe.


Karena penasaran aku pun bertanya.

"Gae opo, Pak Lek??"


Meski hampir semua kerabatku memakai bahasa yang lebih halus untuk berbicara dengan orang yang lebih tua tapi aku terbiasa dengan bahasa jawa ngoko bukannya tak bisa tapi karena terbiasa dan itu kejelekanku yang belum juga hilang sampai sekarang ck ck ck.

"Gae ngeke'i bocah cilik kae loh." jawab Pak Lek sambil menengok ke arah kerumunan.


Aku pun celingukan mencari anak yang dimaksud di antara kerumunan orang yang ada di dermaga.

"Hmm, endi sih??" tanyaku pada sepupuku.


"Kae loh, Kak Man..." jawabnya sambil menunjuk salah satu anak.

Aku mencoba menelusuri arah yang di tunjuk sepupuku tapi aku tak tahu mana anak yang di tunjuk karena ada beberapa anak yang berlarian.


"Emange anake sopo sih??" tanyaku.

"Emboh, ga ngerti."


Aku semakin bingung mendengar jawaban sepupuku.

"Lhoh, kok ga ngerti?!"


"De'e ki biasa njaluk-njaluk duet nang uwong-uwong padahal mamake ki enek, ndisek biasa dikongkon ngemis palingo." jawab sepupuku.

"Oalaah, ngunu ta.."


Setelah mendengar penuturan sepupuku baru lah otakku mendapat pencerahan. Maklum saja di kota kecil itu tak ada yang namanya pengemis berkeliaran. Kalau pun ada pasti dari luar daerah bisa dari Pontianak atau dari kota-kota di sejitarnya.

Kulihat Pak Lek mendatangi kami dari arah warung yang ada di dermaga membawa 3 kantong es cendol. Sebelumnya Pak Lekku turun dari kelotok saat aku ngobrol dengan sepupuku, Pak Lek bilang mau memecahkan uang dulu. Setelah sampai di kelotok dibagikannya es cendol yang ia beli pada kami, satu untukku dan satu lagi untuk sepupuku kemudian Pak Lek meminta sepupuku memegang es bagiannya lalu turun lagi dari kolotok mendatangi kerumunan orang yang ada di dermaga tua itu. Mataku mencoba mengikuti langkah Pak Lek karena penasaran yang mana anak yang dimaksud tapi, mataku tak bisa mengikutinya lagi ketika Pak Lek masuk ke dalam kerumunan.


"Ah ya wes lah." batinku.

Lalu ku lanjutkan mengobrol dengan sepupuku.


"Tekan sekolahan endi ae mau?" tanyaku.

"Bapak ngajak marani kabeh sekolahan sing ono nuk kene. Sampe pegel aku, panas meneh."


Saat sepupuku mengeluh tiba-tiba Pak Lek sudah berdiri di sampingnya lalu duduk di situ.

"Yo kan ben sampean ngerti kabeh, engko gari milih sekolah endi sing sampean seneng." ucap Pak Lek.


"Hmm mmm.., terus sampean pilih sekolahan endi." sambungku.

"Tsanawiah ae."


"Ngene Kak Man. Adik mau tak ajak ndelok sekolah-sekolah sing ono nang kene bene mileh tapi, karepe Pak Lek nak gelem melebu Tsanawiah yo luwih apik, kan ono bahasa arab mbarang dadi ora mung oleh ilmu sing umum tok." tutur Pak Lek.

"Hmm mmm sih, nang SMA yo saiki eneng bahasa arab og nak blas ga pernah belajar bahasa arab yo keteteran." sambungku.


"Sampean iso bahasa arab lah, Kak Man?" tanya sepupuku dengan tempo cepat.

"Hehehe nak ngomong sing gampang-gampang yo iso." jawabku sambil nyengir.


Kelotok yang kami tumpangi pun akhirnya bergerak. Dan selama di atas kelotok yang terus bergerak membelah sungai, kami pun terus melanjutkan obrolan sambil sesekali menghisap cendol di tangan kami masing-masing.

- - - - - - - * * * - - - - - - -


*Beberapa bulan kemudian.*

Terkadang kalau teringat anak yang di beri uang Pak Lek aku celingukan sekedar berusaha memuaskan rasa penasaranku saja pada anak itu sembari menunggu antrian untuk menaiki kelotok. Tapi sayang sekali aku tak juga pernah melihatnya.


"Wes pindah paling." pikirku.

Karena beberapa kali mencari tapi tak juga melihatnya sampai-sampai aku tak ingat lagi tentang anak itu.


- - - - - - - - * * * - - - - - - -

Sabtu 10.00 wib aku sudah pulang sekolah bukan karena madol tapi karena kelas memang sudah bubar karen ada salah satu warga sekitar sekolahku yang meninggal maka, para murid dan guru pergi untuk melayat dan seusai melayat kelas tidak dilanjutkan. Sepulang sekolah aku berniat langsung pulang karena saat itu langit sedang redup selepas hujan meninggalkan beberapa titik gerimis yang jatuh diombang-ambingkan semilir angin yang bertiup.


Sesampai di kosan aku segera membereskan barang yang perlu ku bawa pulang kemudian menarik jaket abu-abu yang biasa ku pakai untuk menghalau bengisnya panas dan dingin.

10 menit kemudian aku dan adikku sudah nangkring di atas sepeda motor yang terparkir di sisi dermaga. Riuh suara bapak-bapak yang berbincang dan tertawa mewarnai hiruk pikuk dermaga saat itu.


Tiba-tiba terdengar salah satu bapak bertanya dengan setengah memekik.

"Whalaaahh anake sopo iki?"


Aku menoleh ke arah suara bapak-bapak yang memekik itu. Terlihat di hadapan pria yang tengah duduk menyamping di atas sepeda motornya itu berdiri seorang anak laki-laki kira-kira berumur 6 tahun, berkaus kuning lengan pendek dan memakai celana jeans sepanjang sekitar 5 jari di bawah lutut. Anak itu memegang tangan pria di hadapannya dan menggoyang-goyangkan tangan pria itu sambil meminta uang.

"Pak minta uang....Pak minta uang, Pak!" ucap anak kecil itu.


Sementara si pria yang di mintai uang justru nyengir kebingungan lalu bertanya.

"Ibunya ke mana, le?"


Si anak tak menjawab, dia tetap menggoyangkan tangan pria itu sambil terus meminta uang.

Setelah beberapa waktu si anak tak juga mendapat yang di inginkan, akhirnya bocah berkaus kuning itu menyerah dan berpindah ke pria lain.


Aku baru ingat kembali tentang anak yang dibicarakan sepupuku.

"Ooalaah kui paling sing di ke'i duet Pak Lek." pikirku sambil manggut-manggut.


Anak itu berganti mendekati seorang laki-laki berpostur sedang dan agak jangkung. Sejak aku datang laki-laki yang menurut perkiraan berumur 40-an itu hanya berdiri terdiam meski orang-orang di sekitarnya sedang bercanda laki-laki itu hanya diam sepertinya dia sedang berzikir karena, aku sempat melihat tasbih sedikit muncul dari saku jaketnya terikut tangannya yang di tarik dari saku.

Bocah berkaus kuning tadi mendekati laki-laki jangkung yang sedang berdiri kemudian menarik lengan laki-laki itu dan menggoyang-goyangkan tangan laki-laki itu sambil meminta uang.


"Pak minta uang, Pak!"

Laki-laki itu menundukkan kepalanya untuk melihat si anak kecil yang tingginya hanya sampai seperut lelaki itu.


"Astaghfirullah..." ucap lelaki itu.

Lelaki itu kemudian memegang kepala si bocah lalu mengusap-usapnya.


Melihat itu aku jadi teringat masa kecilku dulu. Dulu aku tak suka kepalaku dipegang-pagang apa lagi diusap-usap orang selain oleh ibu dan kakakku. Aku selalu menghindar jika ada orang yang hendak memegang kepalaku.

Aku sampai tersenyum sendiri teringat masa kecilku sambil memandangi anak kecil itu diusap-usap kepalanya.


"Udah, main sana!" kata lelaki jangkung.

Kata-kata yang diucapkan lelaki jangkung itu tiba-tiba seolah menutup ingatanku dan membekap senyumku.


"Semoga harapanmu terkabul, Pak Jangkung!" pikirku sinis.

Kemudian anak itu berpindah ke laki-laki yang lain lagi. Tapi kemudian muncul seorang perempuan bertubuh lumayan subur berlari dan ternyata perempuan itu adalah ibu dari si anak berkaus kuning tadi. Perempuan itu lalu menghampiri si anak lalu menyeretnya dengan paksa tapi si anak berusaha melawan dan membuat si perempuan itu menggendong si anak yang tetap meronta bahkan ditambah dengan tangisnya yang kemudian pecah. Mereka berdua menjadi pun menjadi pusat perhatian setiap pasang mata yang ada di dermaga tua itu.



Wassalamualaikum wr.wb...

Eiitt jangan ragu ninggalin sendal bro..!

1 komentar: